RESISTENSI PLASMODIUM FALCIPARUM TERHADAP ARTEMISININ

Authors

  • Ronald T. H. Tambunan Universitas Methodist Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.46880/methoda.Vol8No2.pp11-19

Keywords:

Malaria, Resistance, Plasmodium Falciparum, Artemisinin

Abstract

Malaria masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Pada tahun 2013, WHO memperkirakan terjadi 198.000.000 kasus malaria di seluruh dunia dan diperkirakan 584.000 di antaranya meninggal dunia. Selain dari keberadaan vektor, salah satu faktor pemberat dalam upaya mengatasi endemisitas penyakit menular ini adalah kemampuan dari Plasmodium dalam bertahan dari efek obat antimalaria, yang dikenal dengan kemampuan resistensi. Oleh karena itu, Dondorp, dkk. (2008) melakukan penelitian yang bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi adanya fenomena resistensi terhadap terapi tunggal artemisinin dan membuktikan keefektifan model ACT sebagai model terapi malaria yang terbaik. Penelitian tersebut dilakukan di Kamboja dengan alasan negara tersebut adalah bagian dari daerah perlintasan sungai Mekong, yang menjadi wilayah endemis malaria di Asia Tenggara.Metodologi yang digunakan oleh Dondorp, dkk adalah desain RCT, mengambil total 80 subyek penelitian yang didiagnosis menderita malaria falciparum yang tinggal di 2 wilayah, 40 subyek di Pailin dan 40 subjek di Wang Pha. Masing - masing kelompok dibagi menjadi 4 kelompok kecil. Model terapi yang diberikan adalah artesunate tunggal 2mg/kg berat badan/hari selama 7 hari dan artesunate 4 mg/kg berat badan/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan mefloquine 15 mg/kg berat badan pada hari ke-3 serta 10 mg/kg berat badan/hari pada hari ke-4 - 7. Analisis data menggunakan uji student’s t, chi-square, dan Mann-Whitney. Fenomena resistensi dilihat dari waktu bersihan parasit yang didapatkan dengan estimasi Kaplan-Meier dan Wilcoxon-Breslow-Gehan.Kelompok subyek yang mendapat terapi tunggal artemisinin mempunyai waktu bersihan parasit yang lebih lama dibandingkan dengan kelompok subyek yang mendapat ACT (nilai median 84 jam; 48 jam; P < 0,001). Model ACT juga masih terbukti efektif dibandingkan dengan model terapi tunggal artemisinin dilihat dari laju rekrudesensi di kedua kelompok yang lebih rendah (5%; 30% dan 5%; 10%; P < 0,001). Fenomena resistensi artemisinin sudah mulai muncul di Asia Tenggara. Hal ini perlu diwaspadai oleh pemerintah Indonesia mengingat wilayah geografis dan keberadaan vektor penyakit. Model ACT masih merupakan model terapi terbaik dalam mengobati malaria.

Published

2018-08-31

Issue

Section

Majalah Ilmiah METHODA